1KA25-ISD-TUGAS-18112014-1C114899-NIKOARWENDA

Buatlah liputan tentang:

  1. Konflik dan kontroversi
  2. Kesenjangan sosial

Jawab:

  1. KONFLIK DAN KONTROVERSI

    Obyek: Kenaikan BBM: Kebijakan Bohong, Zhalim & Khianat

    Deskripsi obyek:

    Pengumuman kenaikan harga BBM bersubsidi pada Senin malam, 17 November 2014 oleh Presiden RI Joko Widodo mengundang berbagai aksi pro dan kontra. Kontroversi akan naiknya harga BBM bersubsidi ini telah lama berhembus, bahkan sejak masa kampanye pemilihan presiden dan wakil presiden pada pemilihan umum awal tahun 2014 lalu. Dan secara resmi, kenaikan harga BBM jenis premium menjadi Rp 8.500/ liter, naik Rp 2.000 dari sebelumnya Rp 6.500/ liter. Kenaikan juga terjadi pada solar menjadi Rp 7.500 / liter. Naik Rp 2.000 dari sebelumnya Rp 5.500/ liter.

    Salah satu aksi kontra yang dilakukan atas keputusan tersebut adalah aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh Partai Politik Islam Non Parlemen: Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Sebelum putusan itu disahkah oleh Menteri ESDM, HTI sudah menggelar berbagai aksi kecaman dan penolakan terhadap rencana kenaikan harga BBM. HTI mengecam bahwa kenaikan BBM adalah kebijakan yang bohong, zhalim (menindas) dan khianat.

    Bohong, karena alasan yang dibuat-buat pemerintah sejatinya tidak masuk akan dan akal-akalan saja. Pertama: dikatakan bahwa anggaran yang digelontorkan selama ini salah arah. Menurut Menteri ESDM Sudirman Said, subsidi BBM harus dialihkan untuk hal-hal produktif. “Selama lima tahun ini subsidi BBM sudah mencapai Rp 700 triliun lebih. Jadi, kalau kita lihat ke belakang, ternyata kita telah mengeluarkan uang hanya untuk dibakar saja,” katanya (InilahREVIEW, Edisi 12/IV). Bahkan ada ungkapan, “Masak Rp 400 triliun hanya dibakar jadi asap.” Ini sungguh ungkapan ngawur.

    BBM itu seperti makanan untuk tubuh agar bisa melakukan berbagai aktivitas produktif. Jika ditotal, ribuan triliun habis untuk makan rakyat negeri ini. Tentu tidak ada yang berani mengatakan, “Ternyata selama ini ribuan triliun hanya dimakan dan jadi kotoran yang dibuang.” Faktanya, BBM digunakan untuk berbagai kegiatan ekonomi. Hasil dari “pembakaran” BBM itu sangat besar dan “menghidupkan” masyarakat.

    Kedua: dinyatakan bahwa subsidi BBM itu konsumtif. Alasan ini tak kalah ngaco-nya. Harus diingat, kehidupan sehari-hari rakyat negeri ini banyak bergantung pada BBM. Ada jutaan nelayan yang mencari ikan; jutaan petani yang menggerakkan traktor mereka; jutaan mahasiswa, pelajar dan pegawai/pekerja pulang-pergi menggunakan kendaraan; jutaan pengusaha kecil dan menengah menggunakan BBM untuk menggerakkan usaha mereka. Semua itu tentu kegiatan produktif. Semuanya bisa berjalan karena adanya BBM yang dibakar itu. Jadi, ngawur yang bilang semua itu hanya konsumtif.

    Ketiga: Dinyatakan bahwa subsidi BBM salah sasaran karena lebih banyak dinikmati orang kaya, artinya BBM subsidi lebih banyak diminum mobil mewah. Faktanya tidak begitu. Hasil Sensus Ekonomi Nasional (SUSENAS 2010) menunjukkan bahwa pengguna BBM 65%-nya adalah rakyat kelas bawah dan miskin, 27% menengah, 6% menengah ke atas, dan hanya 2% orang kaya.

    Data Korp Lalu Lintas Kepolisian RI mencatat, jumlah kendaraan yang masih beroperasi di seluruh Indonesia pada 2013 mencapai 104,211 juta unit. Mayoritasnya, 86,253 juta unit adalah sepeda motor. Lalu mobil penumpang 10,54 juta unit; mobil barang (truk, pikap, dan lainnya) 5,156 juta unit; bus 1,962 juta unit dan kendaraan khusus 297.656 unit. Dari mobil penumpang yang 10,54 juta unit, hanya sebagian kecil yang berupa mobil mewah, kira-kira 5%-nya. Itu artinya, BBM subsidi yang dinikmati oleh orang kaya dan pemilik mobil mewah sangatlah kecil, apalagi tak sedikit mobil mewah yang memakai BBM non-subsidi.

    Ulasan dan pendapat

    Sudah menjadi pengetahuan bersama, bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam. Sehingga banyak pihak luar yang mengincar dan ingin (bahkan sedang) mengeksploitasinya. Seharusnya, dengan pengelolaan yang benar dan tepat serta amanah, segala yang ada yang menjadi sumber pemasukan negara untuk menyejahterakan rakyat sangatlah cukup, bahkan berlebih. Namun, hal ini tidak terjadi. Dalam kasus sumber daya minyak, pihak swasta asing yang telah menguasai sebagian besar sektor hulu nampaknya segera merambah ke sektor hilir, dengan bantuan regulator yakni pemerintah. Dengan dalih APBN membengkak hanya untuk subsidi BBM, pemerintah mengambil kebijakan yang tidak bijak untuk mengurangi dan mengaku untuk mengalihkan ke sektor pelayanan publik seperti pendidikan dan kesehatan.

    Pemerintah seakan tidak mengetahui bahwa subsidi BBM telah melancarkan roda ekonomi masyarakat, dan ketika itu dikurangi bahkan dicabut, maka roda perekonomian tsb akan berat berputar. Tambang-tambang minyak sendiri justru diberikan hak kelolanya kepada swasta asing, sedangkan BUMN-nya sendiri (dalam hal ini Pertamina), diberikan hanya sedikit dan itupun tambang tua dan tinggal sedikit cadangan minyaknya yang tersisa. Ketika kurang, harus impor dari luar negeri yang itu hasil olahan pihak asing yang bahan mentahnya dari tambang Indonesia. Sungguh memperihatinkan.

    Pada akhirnya, kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi adalah bertentangan dengan amanat rakyat, dan sebisa mungkin dibatalkan.

  2. KESENJANGAN SOSIAL

    Obyek: Asma Bu Ita & Dompet Dhuafa

    Deskripsi obyek:

    Bu Ita, 54 tahun, adalah satu dari ribuan kaum marginal yang menjadi member penerima manfaat kesehatan Dompet Dhuafa di Indonesia. Saat ditemui di ruang perawatan inap Al Halim di Rumah Sehat Terpadu Dompet Dhuafa (RST DD), beliau masih terbaring lemah dengan selang oksigen di hidungnya. Itu adalah hari kedua beliau di menginap di RST DD. Berdasarkan penuturan perawat jaga, Bu Ita masuk dengan diagnosa asma parah.

    Bu Ita adalah seorang janda beranak tiga yang bisa dibilang beruntung bisa mendapatkan akses kesehatan gratis dari dana ummat yang dikelola oleh lembaga sosial terkemuka di negeri ini, Dompet Dhuafa melalui rumah sakit perdananya, RST DD yang terletak di Jl. Raya Parung KM 42 Kel. Kemang Kec. Jampang Kab. Bogor, Jawa Barat. Saat diwawancarai, beliau ditemani oleh anak laki-lakinya yang dalam keseharian menjadi satu-satunya anggota keluarga yang tinggal 1 atap di daerah Cibadak, Bogor, yang juga seorang buruh. Bersyukur, ketiga anaknya kini sudah tak menjadi beban Bu Ita dalam keseharian. Justru menjadi penopang kehidupan beliau setelah 3 tahun Bu Ita meninggalkan pekerjaan yang lama digelutinya, asisten rumah tangga, karena penyakit asma yang diidap sedari kecil itu.

    Saat memaparkan perihal kebutuhan hidup, dengan segala keterbatasan Bu Ita mengaku cukup, dengan segala keterbatasan yang ada. Kalau hanya sekedar makan dan membayar tagihan listrik, Bu Ita dan anaknya merasa sanggup. Namun kalau harus membayar biaya pengobatan yang dijalani selama ini hingga sekarang, mulai dari rawat jalan dan rawat inap, beliau tidak sanggup. Dengan mengucap syukur, beliau bercerita sedikit tentang bagaimana dulu di tengah kesakitan dan belum adanya satu bantuan pun dari pemerintah akan jaminan kesehatan – seperti JAMKESDA (Jaminan Kesehatan Daerah) dan JAMKESMAS (Jaminan Kesehatan Masyarakat) – datang seorang tenaga survei dari Dompet Dhuafa melakukan survei lapangan kepada Bu Ita yang saat itu menjadi calon member. Dan hasil survei beserta verifikasi dari tim kememberan pun meloloskan Bu Ita menjadi member penerima manfaat kesehatan dari Dompet Dhuafa. Sejak saat itu pun Bu Ita mendapatkan perawatan kesehatan yang terjamin secara cuma-cuma.

    Ulasan dan pendapat

    Bu Ita adalah satu dari 28,55 juta orang yang hidup di bawah garis kemiskinan negeri ini. Angka itu pun harus diperbarui mengingat publikasinya oleh BPS di Januari 2014 dan belum tercatat kenaikan jumlahnya seiring dengan kenaikan harga BBM (alias pengurangan subsidi BBM) per 18 November 2014 lalu. Sungguh ironi, negeri yang terkenal dengan kekayaan melimpah ini masih menjadikan kemiskinan dan kesenjangan sosial sebagai permasalahan turun temurun yang belum terselesaikan.

    Berbicara kesenjangan sosial, identik dengan perbincangan mengenai jarak status sosial kemasyarakatan. Saat pemerintah mengaku bahwa pertumbuhan ekonomi negeri ini naik di angka 5,12% pada triwulan ke-II tahun 2014, maka seakan tutup mata mereka lupa bahwa pertumbuhan ekonomi tidak berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan tsb sejatinya tidak mengurangi jarak kesenjangan sosial-ekonomi masyarakat, malah justru makin besar. Pasalnya pertumbuhan tsb hanya dinikmati oleh segelintir kapitalis, dan tidak dirasakan oleh kaum menengah bawah. Apa yang dapat dirasakan mereka? Kalau patokannya pemenuhan kebutuhan pokok, tahun ini saja, kita disuguhkan fakta dan berita bahwa kenaikan harga sembako lebih sering naik ketimbang turun. Kalau pun turun, masih tinggi. Hal ini tak ayal membuat rakyat semakin menderita.

    Pemerintah melalui lembaga sosialnya nampak kewalahan mengayomi masyarakat lemah seperti Bu Ita ini, sehingga banyak lembaga sosial yang karena geram mengambil alih beberapa tugas pemerintah dan negara. Padahal memajukan kesejahteraan umum dan kecerdasan bangsa adalah amanat UUD 1945 yang tertuang dalam pembukaan.

    Permasalahan kesenjangan sosial dan kemiskinan sebenarnya ada pada distribusi kekayaan. Karena permasalahan ini bukan pada kurangnya sumber daya baik alam maupun manusia dalam memenuhi kebutuhan pokok, namun lebih pada pengelolaan dan distribusi kekayaan yang tidak merata. Kekayaan dan potensi negeri ini bisa dibilang lebih dari cukup untuk diberikan kepada seluruh rakyat negeri ini. Hanya saja sistem ekonomi negeri ini yang memang neo-liberal mengamanatkan negara untuk lambat-laun melepaskan campur tangannya dalam perkara ekonomi masyarakat. Ekonomi harus diserahkan kepada mekanisme pasar yang bebas. Hal ini akan berimbas pada keterbatasan akses ekonomi pada golongan lemah, baik lemah pendidikan maupun lemah ekonomi secara mendasar.

    Jika sudah demikian, maka solusi dari permasalahan kesenjangan dan kemiskinan adalah mengganti sistem ekonomi kapitalis yang neo-liberal ini dengan sistem ekonomi yang menjamin pemerataan distribusi kekayaan negeri ini kepada seluruh masyarakat, yang juga secara penuh memiliki peran mengelola semua sumber daya alam negeri ini hanya oleh negara, tanpa campur tangan swasta dalam negeri maupun swasta asing. Sistem tersebut bukan sistem ekonomi sosialis yang otoriter, melainkan sistem ekonomi islam yang terpancar dari sistem pemerintahan islam, bukan demokrasi.


Referensi:


Download file:
1KA25-ISD-TUGAS-18112014-1C114899-NIKOARWENDA

Leave a comment